Raden Paku Membangun Masjid Yang Diberi Nama

Raden Paku Membangun Masjid Yang Diberi Nama

Asal Usul dan Arti Nama Gunung Semeru

Disebutkan dalam jurnal berjudul Toponimi Gunung Semeru karya Djindan dkk. seperti dikutip dari akun Instagram Kemdikbud RI pada Rabu (08/12/2021), Gunung Semeru juga kerap disebut dengan Mahameru.

Istilah mahameru didapat dari bahasa Sansekerta yang artinya meru agung. Meru artinya adalah pusat jagat raya dan agung artinya besar.

Semeru juga memiliki beberapa nama lain yaitu Semeroe, Smeru, dan Smiru. Ejaan nama ini diambil dari peta Beschryving van de vulkanen Semeroe en Lemongan yang merupakan peta ekspedisi dari Belanda di abad ke-19. Peta ini dinamakan Top van den Semeroe (1879).

Dalam peta tersebut, Semeroe ditulis sebagai nama gunungnya dan Mahameroe sebagai nama puncaknya.

Kartini Day Declared National Holiday

In Indonesia, April 21, Kartini's birthday, is a national holiday that recognizes her as a pioneer for women's rights and emancipation. During the holiday women and girls don traditional clothing to symbolize their unity and participate in costume contests, cook-offs, and flower arrangement competitions. Mothers are allowed the day off as husbands and fathers do the cooking and housework. Schools host lectures, parades are held, and the women's organization Dharma Wanita specially marks the holiday.

In more recent years criticism has arisen regarding the superficial observance of Kartini Day. Many now chose not to commemorate it, and it has increasingly been eliminated from school calendars. What saddens historians and activists is that Kartini has become a forgotten figure for the younger generation, who cannot relate to the achievements she wrought in a repressive society that is now almost forgotten. Historians have also debated the role Kartini herself played in promoting women's emancipation. Other than her letters, some have argued that she was a submissive daughter, feminine but not necessarily a feminist.

The film biography R. A. Kartini was produced to highlight her efforts to promote women's emancipation and education. Based on her published letters as well as memoirs written by friends, the film presents the two aspects of Kartini's life: her brief public life which had minimal effect, and her letters which, after her death, had profound influence on women all over the world. The film, written and directed by Indonesian filmmaker Sjuman Djaya, recreates Kartini's family life, ambitions, and the historical context of life under Dutch colonialism. Kartini is also remembered through businesses inspired by her vision. Kartini International, based in Ontario, Canada, advocates for women's education and rights, and won the 2000 Canadian International Award for Gender Equality Achievement for its work.

Kartini, R. A., Letters from Kartini: An Indonesian Feminist, 1900-1904, Monash Asia Institute, 1994.

—, On Feminism and Nationalism: Kartini's Letters to Stella Zeehandelaar, 1899-1903, Monash Asia Institute, 1995.

Palmier, Leslie, Indonesia, Walker & Co., 1965.

Jakarta Post, April 21, 2001; April 20, 2002.

Chaniago, Ira, "Raden Ajeng Kartini—A Pioneer of Women's Education in Indonesia," University of New England Web site,http://www.une.edu.au/unepa/Gradpost/gp_9.3web.pdf (December 23, 2003).

Discover Indonesia Online,http://indahnesia.com/Indonesia/Jawa/ (December 23, 2003).

Monash Asia Institute Web site,http://www.arts.monash.edu.au/mai/ (December 23, 2003).

Promoted Nationalist Movement

Fearful of losing control over their island territory, the Dutch colonialists believed that knowledge of European languages and education could a be dangerous tool in the hands of the native Javanese. Consequently, they suppressed the activities of the native people, keeping them as peasants and plantation laborers, while at the same time counting on the Javanese nobility to support them in their rule over the region. Only a few of the nobility, Kartini's father included, were taught the Dutch language. Kartini believed that once the Europeans introduced Western culture to the island, they had no right to limit the desire of native Javanese to learn more. Clearly, by the late nineteenth century there was talk of independence. With her letters and her egalitarian fervor, Kartini can be said to have started the modern Indonesian nationalist movement.

Kartini was not proud of being set apart from her countrymen as one of the privileged few of the aristocracy. In her writings she described two types of nobility, one of mind and one of deed. Simply being born from a noble line does not make one great; a person needs to do great deeds for humanity to be considered noble.

Kaitan Antara Julukan Paku Pulau Jawa dan Nama Mahameru

Legenda mengenai asal usul Gunung Semeru dikatakan terdapat dalam kitab kuno Tantu Pagelaran yang dipercaya dari abad ke-15. Demikian dikutip dari buku Soe Hok Gie Sekali Lagi: Buku, Pesta, dan Cinta di Alam Bangsanya karya Rudi Badil dkk.

Dalam kitab kuno Tantu Pagelaran disebutkan, suatu saat Pulau Jawa mengapung terombang-ambing di lautan. Kemudian, Batara Guru yang dianggap sebagai penguasa tunggal memerintahkan para dewa dan raksasa agar memindahkan Gunung Mahameru di India, untuk menjadikannya sebagai paku Pulau Jawa agar tidak terombang-ambing.

Para dewa dan raksasa lalu meletakkan Gunung Mahameru di bagian barat Pulau Jawa. Akan tetapi, disebabkan timur Pulau Jawa posisinya terjungkit ke atas, akhirnya gunung tersebut dipindah ke bagian timur.

Di perjalanan pemindahannya, Gunung Mahameru berceceran dan membentuk beberapa gunung lain di Pulau Jawa. Saat diletakkan pun, posisinya miring ke utara. Sehingga, ujung gunung ini dikisahkan dipotong dan potongannya diletakkan di barat laut. Potongannya ini disebut Gunung Pawitra yang sekarang dikenal sebagai Gunung Penanggungan.

Kisah Gunung Semeru yang berasal dari Gunung Mahameru ini senada dengan yang dikatakan dalam The Seven Summits of Indonesia milik Hendri Agustin. Hendri menyebutkan, Gunung Meru yang dipindahkan dari India dipercaya sebagai asal mula nama Mahameru. Gunung Semeru juga dipercaya sebagai ayah dari Gunung Agung yang ada di Bali.

BANJARMASINPOST.CO.ID - Sekelompok peneliti asal Queensland University of Technology, Australia, baru-baru ini menemukan jenis pisang unik. Kabarnya, pisang ini kaya akan vitamin serta bisa menyelamatkan nyawa manusia!

Pisang Emas Penyelamat

Pisang ini dinamakan pisang emas. Sesuai dengan namanya, pisang ini berwarna kuning emas. Penemuan ini berawal dari sebuah proyek yang bertujuan meningkatkan gizi masyarakat Uganda.

Banyak anak di Uganda yang kekurangan vitamin A. Kekurangan vitamin A ini membuat mereka mengalami kebutaan, bahkan meninggal dunia.

Penelitian yang dilakukan di Australia ini, didanai oleh Bill & Melinda Gates Foundation. Ini dilakukan sebagai bentuk kepedulian mereka pada kesehatan anak-anak di Uganda. Di sana, pisang merupakan salah satu makanan pokok. Dengan adanya pisang emas yang kaya vitamin A, diharapkan dapat mengurangi jumlah kematian dan kebutaan pada anak-anak di lingkungan tersebut.

Dana sebanyak USD 10.000.000 atau sekitar 130 miliar rupiah dikeluarkan oleh Bill & Melinda Gates Foundation untuk terus mengembangkan jenis pisang emas. Mereka pun bercita-cita agar petani Uganda dapat mulai menanam pisang tersebut dalam beberapa tahun ke depan.

Menggabungkan Gen Pisang Papua Nugini dengan Pisang Cavendish

Profesor Dale, pemimpin penelitian ini, mengatakan mulanya mereka ingin mengambil kekayaan vitamin A pada pisang asal Papua Nugini. Tetapi, pisang di Papua Nugini hanya memiliki tandan yang kecil. Jadi, para peneliti mencoba memasukkan gen pisang dari Papua Nugini ke pisang Cavendish untuk menghasilkan pisang jenis baru.

Pisang emas berbentuk kurang lebih sama dengan pisang pada umumnya. Kecuali warnanya yang keemasan.

Artikel ini sudah dimuat di bobo.grid.id berjudul Pisang Emas, Pisang Jenis Baru yang Kaya Vitamin

JAKARTA, AKSIKATA.COM – Bila bertandang ke arah Jakarta Pusat sempatkan datangi Masjid Jami Al Makmur, yang arsitekturnya mengandung empat unsur kebudayaan yakni Jawa, Betawi, Eropa, dan Tionghoa. Masjid ini merupakan salah satu masjid tertua berada di Jalan Raden Saleh No 30, Cikini, Jakarta Pusat.

Dalam sejarahnya, seperti dikutif dari situs Islamic Center, masjid ini dibangun oleh Raden Saleh Syarif Bustaman atau yang dikenal dengan nama Raden Saleh, maestro pelukis Indonesia, pada tahun 1890.

Mulanya, masjid ini merupakan pindahan surau sederhana di kediaman Raden Saleh yang luasnya dari Cikini hingga Tugu Tani, Menteng. Dindingnya terbuat dari gedek (bilik bambu), berukuran kecil seperti rumah panggung, dan letaknya bukan di lokasi sekarang, tetapi di belakang rumah kediamannya, yang kini menjadi Rumah Sakit Cikini, Jalan Raden Saleh.

Sepeninggal Raden Saleh, masjid ini beberapa kali berpindah kepemilikan. Lahan dan bangunan masjid dibeli Sayed Abdullah bin Alatas yang selanjutnya dijual kepada yayasan milik pemerintah kolonial Belanda, Koningen Emma Ziekenhuis (Yayasan Ratu Emma), sebuah yayasan misionaris kristen milik orang Belanda, bergerak di bidang pelayanan sosial, seperti mendirikan rumah sakit, selain menyebarkan agama kristen.

Setelah tanah tersebut dimilik Koningin Emma Stichting, meski sebenarnya tanah masjid tersebut bukan termasuk bagian miliknya, mereka menuntut agar masjid tidak berada di lokasi yang dikuasainya itu. Karena desakan pihak yayasan, akhirnya Masjid Cikini dipindahkan beberapa meter dari tempat asalnya dengan cara memanggulnya secara bergotong-royong.

Tahun 1932, Emma Stichting tetap menuntut agar masjid dipindahkan ke lokasi yang lebih jauh lagi. Akibat tuntutan itu, timbul reaksi dari para tokoh Islam seperti H.O.S. Cokroaminoto (Ketua Sarekat Islam) dibantu Haji Agus Salim dan Abikusno Cokrosuyoso. Mereka tidak setuju jika masjid itu dipindahkan.

Demikian kokohnya persatuan tokoh umat Islam waktu itu, sehingga sanggup menggerakan solidaritas umat Islam di seluruh Jawa. Demi membela dan mempertahankan masjid dari upaya penggusuran, secara spontan para jamaah shalat Jumat selalu membawa golok untuk berjaga-jaga agar pihak Belanda tidak berani mengusiknya.

Agus Salim lalu memprakasai pembangunan masjid yang permanen setara dengan gereja yang ada. Ketika itu, pada dinding atap bagian depan masjid sengaja dipasang lambang partai Sarekat Islam (SI) yang berbentuk bulan sabit dan bintang agar Belanda tidak berani mengganggu, sebab SI waktu itu merupakan partai Islam terbesar di Indonesia yang besar pula pengaruhnya. Lambang itu sampai sekarang menjadi ciri khas Masjid tersebut.

Rebutan tanah wakaf itu terus berlanjut, hingga pada tahun 1991, Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto ketika itu berhasil menyelesaikan kepemilikan tanah masjid. Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto menetapkan Masjid al-Makmur Cikini sebagai cagar budaya yang dilindungi. Hal ini menyelematkan masjid tersebut dari upaya penggusuran pelebaran sungai di Cikini. Bersama itu pula (1993) upaya renovasi dilakukan oleh Dinas Purbakala Kanwil Depdikbud DKI.

Sepanjang perjalanannya bangunan masjid ini sempat mengalami perbaikan dan penambahan. Namun, masih ada beberapa bagian masjid yang masih asli seperti pintu, tiang-tiang, dan lantai porselen sejak pertama kali masjid ini didirikan. Dari hiasan, ornamen masjid yang terbuat dari kuningan ini juga masih asli hingga mimbar imam yang ada di depan masih asli.

Bila detikers sangat menyukai dunia bawah laut dan seluruh penghuninya, pasti tak asing dengan nama-nama ikan yang mirip makhluk di daratan. Hal tersebut tampaknya telah dijelaskan pada Bestiary abad ke-13 yang kini sudah diterjemahkan.

Dikutip dari Ensiklopedia Britannica, Bestiary adalah sastra abad pertengahan di Eropa yang terdiri dari kumpulan cerita tentang deskripsi hewan, tumbuhan, hingga batu. Kisah itu menyajikan alegori Kristen sebagai instruksi dan peringatan moral serta agama.

Banyak manuskrip Bestiary di abad pertengahan berasal dari bahasa Yunani tepatnya teks Physiologus. Teks ini bahkan disusun sebelum pertengahan abad ke-2 Masehi yang berisi cerita berdasarkan fakta ilmu alam yang diterima dari seseorang bernama Physiologus.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada abad ke-13, Physiologus diterjemahkan dengan perubahan sehingga menjadi Bestiary Inggris Tengah yang masih bertahan hingga saat ini. Versi ini mempengaruhi perkembangan dongeng tentang binatang buas.

Di Bestiary abad ke-13 dijelaskan bila penamaan ikan berdasarkan hewan di darat yang berbunyi:

"Ketika manusia belajar sedikit demi sedikit tentang jenis ikan, mereka sering diberi nama karena kemiripannya dengan makhluk darat seperti katak, anak sapi, singa, burung hitam, dan burung merak"

Hal itu tampaknya benar-benar terjadi dengan banyaknya spesies ikan yang dinamai seperti hewan di darat. Apa saja? Berikut daftarnya.

Batfish (Ikan Kelelawar)

Batfish adalah ikan dengan tampak seperti gepeng yang menggunakan sirip perutnya untuk berjalan di sepanjang dasar laut. Ikan ini disebut mampu mengeluarkan bau untuk memikat mangsanya sehingga bisa diserang.

Batfish ditemukan di Teluk Meksiko tepatnya daerah tumpahan minyak Deepwater Horizon. Karena hal itu, ikan ini memberikan pengetahuan tentang dampak dari kejadian tersebut.

Lionfish pertama kali dilaporkan pada tahun 1985 di lepas pantai Florida. Ikan ini diperkirakan berasal dari laut Indo-Pasifik yang terkenal dengan kebiasaan rakusnya.

Biasanya, spesies ini tinggal di terumbu karang untuk menyantap mangsa. Tubuhnya dihiasi dengan bulu-bulu halus berbalut warna merah tua dan krem.

Diketahui ada 30-50 spesies kuda laut telah membuat manusia terpesona selama ribuan tahun. Hewan ini memiliki nama genus "Hippocampus" yang berasal dari bahasa Yunani dengan arti "kuda" dan "monster laut".

Hippocampi disebutkan sebagai tokoh dalam mitologi Yunani berbentuk setengah kuda dan setengah ikan. Mereka sering digambarkan sebagai pembawa kereta Poseidon dan tunggangan bidadari laut.

Menariknya, hewan ini sulit diidentifikasi spesiesnya karena memiliki warna yang sangat bervariasi. Mereka juga berkerabat dengan pipefish yang terlihat seperti kuda laut namun berbeda.

Snakehead adalah ikan yang berasal dari Asia Timur dan konon katanya memiliki daging yang enak. Namun, tidak semuanya bisa ditangkap dan dijadikan santapan.

Ikan ini adalah predator puncak dalam ekosistem air tawar. Tak sembarangan, snakehead punya kemampuan 'berjalan' di darat dengan jarak yang sangat jauh.

Catfish (Ikan Lele)

Ikan lele mungkin menjadi salah satu ikan dengan nama hewan yang sering ditemui. Ikan ini sering menjadi santapan manusia.

Namun siapa sangka, banyak ikan lele besar mendominasi sungai Amazon dan berubah menjadi hiu di air tawar. Ikan lele goonch yang sangat besar di India bahkan tercatat memakan sisa-sisa manusia yang meninggal karena berenang.

Meski kerap menjadi santapan, untuk diingat ikan lele memiliki duri di punggung mereka yang disebut dengan patil lele. Beberapa patil lele memiliki bisa yang mampu melumpuhkan mangsanya.

Itulah 9 hewan yang diberi nama berdasarkan hewan lain yang ada di darat. Ada hewan yang sudah pernah kamu lihat langsung, detikers?

Raden Ajeng Kartini (1879-1904) is credited with starting the move for women's emancipation in Java, an island then controlled by Holland as part of the Netherlands Indies (now Indonesia). Born to the aristocracy, Kartini was privileged to be able to attend Dutch colonial schools, but was forced to quit at an early age due to Islamic law at the time. At the age of 24, she was married to a man twice her age who already had three wives. Kartini wrote letters to her friends in Holland protesting the treatment of women in Java, the practice of polygamy, and of the Dutch suppression of the island's native population. Decades later, the Indonesian state constitution promised gender equality to all its citizens, and Kartini Day continues to be celebrated on April 21 to commemorate Kartini's contribution to women's rights.

Kartini was born on April 21, 1879, in Mayong village near of Jepara, a town located in the center of the island of Java. She was born into the Javanese priyayi, or aristocracy; her father was Jepara mayor Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Kartini was one of 12 children born to Raden's several wives.

Letters Ultimately Published

Kartini's legacy is found in the many letters she wrote to friends in Holland. In 1911 a collection of her Dutch letters was published posthumously, first in Java and then in Holland as Door Duisternis tot Licht: Gedachten Over en Voor Het Javanese Volk ("From Darkness to Light: Thoughts about and on Behalf of the Javanese People"). The book was then translated into several languages, including French, Arabic, and Russian, and in 1920 was translated by Agnes Louis Symmers into English as Letters of a Javanese Princess. In 1922 Armijn Pane finally translated the book into the Javanese language under the title Habis Gelap Terbitlah Terang ("After Darkness, Light Is Born"), which he based on a verse found in both the Bible and the Qur'an in which God calls people out of the darkness and into the light. More recently, Kartini's granddaughter, Professor Haryati Soebadio, re-translated the letters and published them as Dari Gelap Menuju Cahaya, meaning "From Darkness into Light."

Kartini's letters spurred her nation's enthusiasm for nationalism and garnered sympathy abroad for the plight of Javanese women. Syrian writer Aleyech Thouk translated From Darkness into Light into Arabic for use in her country, and in her native Java Kartini's writings were used by a group trying to gain support for the country's Ethical Policy movement, which had been losing popularity. Many of Kartini's admirers established a string of "Kartini schools" across the island of Java, the schools funded through private contributions.

Kartini's beliefs and letters inspired many women and effected actual change in her native Java. Taking their example, women from other islands in the archipelago, such as Sumatra, also were inspired to push for change in their regions. The 1945 Constitution establishing the Republic of Indonesia guaranteed women the same rights as men in the areas of education, voting rights, and economy. Today, women are welcome at all levels of education and have a broad choice of careers. Kartini's contributions to Indonesian society are remembered in her hometown of Jepara at the Museum Kartini di Jepara and in Rembang, where she spent her brief married life, at the Museum Kartini di Rembang.

Educated at Dutch Schools

As a child, Kartini was very active, playing and climbing trees. She earned the nickname "little bird" because of her constant flitting around. A man of some modern attitudes, her father allowed her to attend Dutch elementary school along with her brothers. The Dutch had colonized Java and established schools open only to Europeans and to sons of wealthy Javanese. Due to the advantages of her birth and her intellectual inclination, Kartini became one of the first native women allowed to learn to read and write in Dutch.

Despite her father's permission to allow her a primary education, by Islamic custom and a Javanese tradition known as pingit, all girls, including Kartini, were forced to leave school at age 12 and stay home to learn homemaking skills. At this point, Kartini would have to wait for a man to ask for her hand in marriage. Even her status among the upper class could not save her from this tradition of discrimination against women; marriage was expected of her. For Kartini, the only escape from this traditional mode of life was to become an independent woman.

Ikan yang Diberi Nama dari Hewan Lain di Darat:

Opened School for Girls

Rather than remaining submissive and compliant, like a good Javanese daughter, the unconventional Kartini often had disagreements with her father, and it is believed that her family was, consequently, eager to marry her off. On November 8, 1903, she obeyed her father and married Raden Adipati Joyoadiningrat, the regent of Rembang. Joyoadiningrat was a wealthy man of age 50 who already had three wives and a dozen children. Kartini—who was, at 24 years of age, considered too old to marry well—found herself a victim of polygamy. She was devastated by the marriage, which ended her dream of studying abroad just as she was awarded a scholarship to study in Europe.

Despite the marriage, in 1903 Kartini was able to take a first step toward achieving women's equality by opening a school for girls. With aid from the Dutch government Kartini established the first primary school in Indonesia especially for native girls regardless of their social standing. The small school, which was located inside her father's house, taught children and young women to read and make handicrafts, dispensed Western-style education, and provided moral instruction. At this time, Kartini also published the paper "Teach the Javanese."

Kartini's enthusiasm at educating Indonesian girls was short lived. On September 17, 1904, at the age of 25, she died while giving birth to her son. Kartini is buried near a mosque in Mantingan, south of Rembang.