Bandung Lautan Api
https://www.liputan6.com/
Peristiwa Bandung Lautan Api merupakan peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat pada tanggal 23 Maret 1946. Dalam waktu kurang lebih tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar tempat tinggal mereka dan meninggalkan kota untuk menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan guna untuk mencegah tentara Sekutu beserta dengan tentara NICA Belanda untuk menjadikan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam upaya perang untuk merusak kemerdekaan Indonesia.
Pasukan Inggris yang dipimpin oleh Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Pada mulanya, hubungan mereka dengan pemerintah Republik Indonesia sudah tidak baik. Mereka menuntut supaya semua senjata api yang ada di tangan masyarakat, kecuali bagi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), diserahkan kepada sekutu. Disamping itu, Para orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan berbagai tindakan yang mengganggu keamanan sekitar. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara tentara Inggris dengan TKR tak bisa terhindarkan.
Pada malam hari, tanggal 21 November 1945, TKR dibantu dengan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap tempat yang dijadikan markas oleh tentara Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Preanger dan Hotel Homann. Tiga hari kemudian, pemimpin pasukan Inggris, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat untuk mengosongkan Bandung Utara dari para penduduk Indonesia termasuk juga para pasukan bersenjata.
Ultimatum dari Tentara Sekutu supaya Tentara Republik Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI pada saat itu) meninggalkan Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi “bumi hangus”. Para pejuang pihak Republik Indonesia merasa tak rela apabila Bandung digunakan oleh pihak Sekutu dan NICA untuk dijadikan sebagai markas. Keputusan untuk membumi-hanguskan Bandung diputuskan melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan seluruh kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 23 Maret 1946.
Kolonel Abdoel Haris Nasoetion yang pada masa itu menjabat sebagai Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan untuk segera melakukan evakuasi ke luar Kota Bandung. Pada hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang untuk meninggalkan kota Bandung dan pada malam itu juga pembakaran kota berlangsung.
Kota Bandung dengan sengaja dibakar oleh TRI dan masyarakat setempat dengan maksud supaya Sekutu tidak bisa menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Tentara Inggris murka dan mulai menyerang sehingga terjadi sebuah pertempuran sengit. Pertempuran terbesar terjadi di Desa Dayeuhkolot, yakni daerah sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar yang dimiliki oleh Tentara Sekutu.
Dalam pertempuran ini dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) yakni Muhammad Toha dan Muhammad Ramdan terjun ke dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang dengan menggunakan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi yang berada di dalamnya.
Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya berencana untuk tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan, maka pada pukul 21.00 WIB, mereka turut ikut dalam rombongan yang melakukan evakuasi dari kota Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih sekitar pukul 00.00 WIB, Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan juga TRI. Meski demikian, api masih membubung tinggi membakar kota, sehingga Bandung pun seakan menjadi lautan api.
Pembakaran total kota Bandung tersebut dianggap sebagai strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia karena pada masa itu, kekuatan TRI bersama dengan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan dari pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Pasca peristiwa tersebut, TRI bersama dengan milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya di luar Bandung.
https://www.minews.id/
Salah satu pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan yang paling dikenang ialah perang Puputan Margarana di Bali pada tanggal 20 November 1946. Pertempuran ini dipimpin oleh Kolonel I Gusti Ngurah Rai.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan, I Gusti Ngurah Rai menerima tugas membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di daerahnya untuk menghadang agresi dari pihak Belanda yang ingin kembali untuk menguasai Bali. Ia pun membentuk pasukan yang dinamakan sebagai pasukan Ciung Wanara.
Pada perjanjian Linggarjati 10 November 1946, pihak Belanda hanya mengakui Sumatera, Jawa, dan Madura sebagai wilayah dari Republik Indonesia. Sedangkan Belanda ingin menjadikan Bali masuk ke dalam wilayah Negara Indonesia Timur (NIT). I Gusti Ngurah Rai pun dibujuk oleh para pasukan Belanda untuk bergabung. Akan tetapi, rasa cintanya kepada Republik Indonesia membuatnya enggan.
I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukan Ciung Wanara untuk merampas seluruh persenjataan yang dimilki oleh polisi NICA yang sedang menduduki Kota Tabanan. Sikap dari Ngurah Rai membuat pihak Belanda geram dan ingin membalas dendam.
Saat pasukan Ciung Wanara beserta dengan sang pemimpin sedang melakukan long march ke Gunung Agung, mereka diserang oleh pasukan Belanda. Dalam kondisi terdesak, Ngurah Rai mengeluarkan perintah Puputan atau pertempuran habis-habisan yang mengeluarkan seluruh tenaga. Dalam pandangan para pejuang Bali, lebih baik berjuang sebagai ksatria daripada menyerah dan jatuh ke tangan musuh.
Sengitnya perlawanan tersebut, membuat militer Belanda mengerahkan pesawat tempur yang diterbangkan dari Makassar. Pasukan Ciung Wanara dijatuhi bom dan juga rentetan tembakan. Namun, Pasukan Ngurah Rai tak mundur.dan menjadikan I Gusti Ngurah Rai gugur bersama dengan 95 orang pasukannya. Sedangkan sekitar 400 orang dari pihak Belanda tewas.
Pertempuran Banten (1946)
Pertempuran Banten di Jawa Barat melibatkan pasukan Indonesia dan Belanda. Pertempuran ini menyoroti ketahanan rakyat Banten dalam mempertahankan kemerdekaan mereka dari penjajah Belanda.
KOMPAS.com - Perang Kemerdekaan Indonesia terjadi sejak 1945 hingga 1949, yang menjadi puncak perjuangan bangsa Indonesia.
Meskipun sudah resmi merdeka sejak 17 Agustus 1945, masih banyak pihak yang belum bisa menerima kemerdekaan Indonesia, termasuk Belanda dan Sekutu.
Akibatnya, pertempuran pun terjadi pada masa Revolusi Kemerdekaan yang memakan korban mencapai ribuan jiwa.
Baca juga: Dampak Negatif Konferensi Meja Bundar
Latar belakang terjadinya perang kemerdekaan Indonesia adalah keinginan Belanda dan Sekutu untuk kembali menguasai Nusantara.
Satu bulan setelah Indonesia dinyatakan merdeka, tepatnya tanggal 29 September 1945, Sekutu datang.
Sekutu yang dalam hal ini adalah Inggris, sudah membentuk satuan komando bernama SEAC mengirim pasukan mata-mata untuk melihat kondisi di Indonesia setelah kependudukan Jepang pada 1942 silam.
Rupanya, saat itu, Sekutu datang dengan diboncengi oleh NICA (Nederlands Indies Civil Adminstration), yaitu pemerintahan sipil Belanda yang bertujuan untuk kembali berkuasa di Indonesia.
Inggris yang ditugaskan ke Indonesia ternyata diam-dian sudah mengadakan perjanjian rahasia bersama Belanda yang disebut Civil Affair Agreement pada 24 Agustus 1945 silam.
Isi Civil Affair Agreement adalah tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama pemerintah Belanda.
Sekutu mendarat pertama kali di Tanjung Priok, yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
Awalnya, kedatangan Sekutu di Indonesia disambut dengan baik.
Namun, setelah mengetahui bahwa Sekutu datang dengan diboncengi NICA yang secara gamblang ingin kembali menegakkan kekuasaan di Indonesia, maka reaksi pihak Indonesia terhadap Sekutu berubah.
Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya pertempuran di berbagai daerah di Indonesia.
Suasana sekitar saat Pertempuran Ambarawa terjadi
Baca juga: Kronologi Pertempuran Surabaya
Pertempuran Ambarawa terjadi pada 20 Oktober 1945, ketika Sekutu yang dipimpin oleh Brigjen Bethel mendarat di Semarang.
Setelah itu, pasukan Sekutu yang sedang berjalan menuju ke Magelang pun membuat kerusuhan.
Awalnya, Bethel diperkenankan untuk melucuti senjata pasukan Jepang.
Dia juga diizinkan mengevakuasi 19.000 interniran Sekutu yang ada di Kamp Banyu Biru Ambarawa dan Magelang.
Akan tetapi, ternyata pasukan Sekutu membelot dengan mempersenjatai para tawanan Jepang.
Pada 26 Oktober 1945, insiden pun pecah di Magelang, yang kemudian berlanjut antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan tentara Inggris.
Orange Hotel di Surabaya, lokasi perobekan bendera Belanda ketika Pertempuran Surabaya.
Puncak pertempuran terjadi pada 20 November 1945, di Ambarawa antara pasukan TKR yang dipimin Mayor Sumarto dengan pasukan Inggris.
Aksi tembak-menembak dan pengeboman terus terjadi selama berhari-hari.
Kendati begitu, pada akhirnya pasukan TKR berhasil meluluhlantakkan pasukan Inggris pada 12 Desember 1945.
Pada akhirnya, pasukan Inggris yang sudah sangat terdesak bersedia meninggalkan Ambarawa dan mundur ke Semarang pada 15 Desember 1945.
Baca juga: Pertempuran Ambarawa: Latar Belakang, Tokoh, Akibat, dan Akhir
Tentara Inggris tiba di Surabaya pada 25 Oktober 1945, di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby.
Kemudian, pada 27 Oktober 1945, tentara Inggris mulai menduduki gedung-gedung pemerintahan di Surabaya yang dijaga oleh rakyat dan para pemuda Indonesia.
Lebih lanjut, pada 29 Oktober 1945, atas permintaan Letjen Christison, Presiden Soekarno datang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran.
KOMPAS.com - Perang Kemerdekaan Indonesia terjadi sejak 1945 hingga 1949, yang menjadi puncak perjuangan bangsa Indonesia.
Meskipun sudah resmi merdeka sejak 17 Agustus 1945, masih banyak pihak yang belum bisa menerima kemerdekaan Indonesia, termasuk Belanda dan Sekutu.
Akibatnya, pertempuran pun terjadi pada masa Revolusi Kemerdekaan yang memakan korban mencapai ribuan jiwa.
Baca juga: Dampak Negatif Konferensi Meja Bundar
Latar belakang terjadinya perang kemerdekaan Indonesia adalah keinginan Belanda dan Sekutu untuk kembali menguasai Nusantara.
Satu bulan setelah Indonesia dinyatakan merdeka, tepatnya tanggal 29 September 1945, Sekutu datang.
Sekutu yang dalam hal ini adalah Inggris, sudah membentuk satuan komando bernama SEAC mengirim pasukan mata-mata untuk melihat kondisi di Indonesia setelah kependudukan Jepang pada 1942 silam.
Rupanya, saat itu, Sekutu datang dengan diboncengi oleh NICA (Nederlands Indies Civil Adminstration), yaitu pemerintahan sipil Belanda yang bertujuan untuk kembali berkuasa di Indonesia.
Inggris yang ditugaskan ke Indonesia ternyata diam-dian sudah mengadakan perjanjian rahasia bersama Belanda yang disebut Civil Affair Agreement pada 24 Agustus 1945 silam.
Isi Civil Affair Agreement adalah tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama pemerintah Belanda.
Sekutu mendarat pertama kali di Tanjung Priok, yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
Awalnya, kedatangan Sekutu di Indonesia disambut dengan baik.
Namun, setelah mengetahui bahwa Sekutu datang dengan diboncengi NICA yang secara gamblang ingin kembali menegakkan kekuasaan di Indonesia, maka reaksi pihak Indonesia terhadap Sekutu berubah.
Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya pertempuran di berbagai daerah di Indonesia.
Suasana sekitar saat Pertempuran Ambarawa terjadi
Baca juga: Kronologi Pertempuran Surabaya
Pertempuran Ambarawa terjadi pada 20 Oktober 1945, ketika Sekutu yang dipimpin oleh Brigjen Bethel mendarat di Semarang.
Setelah itu, pasukan Sekutu yang sedang berjalan menuju ke Magelang pun membuat kerusuhan.
Awalnya, Bethel diperkenankan untuk melucuti senjata pasukan Jepang.
Dia juga diizinkan mengevakuasi 19.000 interniran Sekutu yang ada di Kamp Banyu Biru Ambarawa dan Magelang.
Akan tetapi, ternyata pasukan Sekutu membelot dengan mempersenjatai para tawanan Jepang.
Pada 26 Oktober 1945, insiden pun pecah di Magelang, yang kemudian berlanjut antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan tentara Inggris.
Orange Hotel di Surabaya, lokasi perobekan bendera Belanda ketika Pertempuran Surabaya.
Puncak pertempuran terjadi pada 20 November 1945, di Ambarawa antara pasukan TKR yang dipimin Mayor Sumarto dengan pasukan Inggris.
Aksi tembak-menembak dan pengeboman terus terjadi selama berhari-hari.
Kendati begitu, pada akhirnya pasukan TKR berhasil meluluhlantakkan pasukan Inggris pada 12 Desember 1945.
Pada akhirnya, pasukan Inggris yang sudah sangat terdesak bersedia meninggalkan Ambarawa dan mundur ke Semarang pada 15 Desember 1945.
Baca juga: Pertempuran Ambarawa: Latar Belakang, Tokoh, Akibat, dan Akhir
Tentara Inggris tiba di Surabaya pada 25 Oktober 1945, di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby.
Kemudian, pada 27 Oktober 1945, tentara Inggris mulai menduduki gedung-gedung pemerintahan di Surabaya yang dijaga oleh rakyat dan para pemuda Indonesia.
Lebih lanjut, pada 29 Oktober 1945, atas permintaan Letjen Christison, Presiden Soekarno datang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran.
Pertemuan keduanya pun menghasilkan terjadinya gencatan senjata.
Akan tetapi, pada 31 Oktober 1945, tersiar kabar tentang hilangnya Brigjen Mallaby yang ternyata tewas terbunuh.
Sebagai tindak lanjut dari kabar tersebut, pihak Inggris, Mayir Jenderal Manserg, memberikan ultimatum kepada rakyat Surabaya pada 9 November 1945.
Namun, hingga tanggal 10 November 1945, pukul 06.00 pagi WIB, tidak ada seorang pun dari bangsa Indonesia yang menyerahkan diri.
Akibatnya, pertempuran pun pecah. Para pejuang Indonesia berusaha melawan Sekutu menggunakan senjata tradisional bambu runcing.
Setelah tiga pekan, pertempuran Surabaya pun mulai mereda pada 28 November 1945.
Pertempuran ini telah memakan korban jiwa dari pihak Indonesia sebanyak 20.000 orang, sedangkan dari pihak Sekutu sebanyak 1.500 orang.
Baca juga: Mohammad Toha, Tokoh Penting Peristiwa Bandung Lautan Api
Peristiwa Bandung Lautan Api terjadi tanggal 13 Oktober 1945, ketika pasukan Sekutu tiba di Kota Bandung dengan diboncengi oleh NICA.
Setibanya di Bandung, pasukan Sekutu langsung menguasai kota dengan alasan melucuti dan menawan tentara Jepang.
Kemudian, pada 27 November 1945, Sekutu mengeluarkan ultimatum agar rakyat Bandung segera meninggalkan area Bandung Utara, tetapi ultimatum itu tidak dihiraukan.
Sekutu yang mulai terdesak pun kembali mengeluarkan ultimatum kedua agar selambat-lambatnya pada 24 Maret 1946 pukul 24.00, pasukan Indonesia sudah meninggalkan Bandung sejauh 11 kilometer.
Ultimatum ini lantas mendongkrak semangat perlawanan para pejuang Indonesia.
Pasukan Indonesia membuat strategi dengan merancang operasi bernama Bumi Hangus.
Begitu penduduk meninggalkan Bandung, operasi Bumi Hangus langsung dijalankan dengan membakar bangunan rumah atau gedung di Bandung.
Prasasti yang menjadi bukti terjadinya Pertempuran Medan Area
Dalam sekejap, Kota Bandung sudah diselimuti oleh asap gelap dan pemadaman listrik.
Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh tentara Indonesia untuk menyerang Sekutu secara bergerilya.
Baca juga: Pertempuran Medan Area: Latar Belakang, Konflik, dan Dampak
Pertempuran Medan Area terjadi tanggal 13 Oktober 1945 hingga April 1946, setelah tentara Sekutu yang dipimpin oleh TED Kelly mendarat di Medan.
Kedatangan Sekutu dan NICA ini memancing kemarahan warga Indonesia.
Terlebih, ketika salah satu anggota NICA disebut merampas dan menginjak-injak lencana merah putih yang digunakan oleh seorang pemuda Indonesia.
Menindaklanjuti hal ini, pada 13 Oktober 1945, barisan pemuda dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bertempur melawan Sekutu dan NICA.
Inggris kemudian mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia untuk segera menyerahkan senjata kepada Sekutu, tetapi lagi-lagi ultimatum itu tidak diindahkan.
Puncak pertempuran terjadi tanggal 10 Desember 1945, di mana Sekutu dan NICA menyerang Kota Medan secara habis-habisan.
Bulan April 1946, Sekutu sudah berhasil menguasai Kota Medan.
Baca juga: Kronologi Agresi Militer Belanda I
Setelah proklamasi kemerdekaan berlangsung, Indonesia masih dihantui oleh Belanda.
Belanda terus berusaha merebut kembali kemerdekaan dengan melakukan sejumlah serangan, salah satunya Agresi Militer Belanda I.
Agresi Militer Belanda I terjadi pada tanggal 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1947, yang dipimpin oleh Letnan Gubernur Jenderal Johannes van Mook.
Tujuan Agresi Militer Belanda I adalah membangkitkan perekonomian Belanda dengan cara menguasai kekayaan sumber daya alam Indonesia.
Target utama Belanda ialah Sumatera dan Jawa untuk menguasai sumber daya alam di sana.
Di Pulau Jawa, Belanda menyerang Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Indonesia mengirim pasukan Siliwangi untuk melawan tentara Belanda.
Salah satu strategi yang digunakan oleh pasukan Siliwangi adalah melakukan serangan gerilya pada sektor-sektor penting, seperti jalan-jalan penghubung, jalur logistik, dan pos Belanda.
Pada praktiknya, serangan gerilya pasukan Siliwangi di Jawa Barat berhasil mengalahkan usaha perkebunan yang menjadi sektor ekonomi penting bagi Belanda.
Agresi Militer Belanda I berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Renville pada 17 Januari 1947.
Baca juga: Mengapa Perjanjian Renville Merugikan Indonesia?
Belanda mengingkari perjanjian Renville dengan melancarkan serangan Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, di Yogyakarta.
Pada Minggu pagi 19 Desember 1948, Belanda mulai menyerang Kota Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota sementara Indonesia.
Belanda melakukan serangan udara mendadak yang membuat pasukan Indonesia kewalahan.
Hanya dalam waktu beberapa jam, sore hari pada tanggal yang sama, Yogyakarta sudah berhasil diambil alih oleh Belanda.
Setelah mendengar serangan mendadak tersebut, Panglima TNI Jenderal Sudirman memberikan perintah kilat melalui radio yang bertujuan untuk melawan musuh dengan cara perang rakyat semesta.
Maksudnya, para pasukan akan hijrah dengan cara long march ke wilayahnya masing-masing dan membentuk kekuatan.
Setelah kekuatan terbentuk, pertempuran dimulai antara pasukan Indonesia dan pasukan Belanda.
Agresi Militer Belanda II telah banyak memakan korban jiwa dan kerusakan besar bagi pihak Indonesia.
Saking besarnya, aksi penyerangan ini sampai terdengar ke kancah internasional, termasuk Amerika Serikat (AS).
Akibatnya, AS memutuskan untuk menghentikan bantuan dana kepada Belanda. AS dan PBB juga mendesak agar Belanda segera melakukan gencatan senjata dan menggelar perundingan damai.
Akhirnya, pada 7 Mei 1949, Agresi Militer Belanda II berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian Roem-Royen.
Baca juga: Hasil Konferensi Meja Bundar yang Tidak Dapat Direalisasikan Belanda
Akhir perang kemerdekaan Indonesia adalah penyerahan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949.
Sebelum penyerahan itu tercapai, Indonesia dan Belanda lebih dulu berunding dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, pada 23 Agustus hingga 2 November 1949.
KMB dipimpin langsung oleh Wakil Presiden Indonesia, Mohammad Hatta.
Pada akhirnya, tanggal 2 November 1949, Indonesia dan Belanda berhasil mencapai kesepakatan dengan menandatangani persetujuan KMB.
Salah satu isi KMB adalah Belanda menyerahkan kedaulatan penuh kepada RI pada Desember 1949, tepatnya tanggal 27 Desember.
5 Pertempuran di Indonesia Pasca Kemerdekaan – Diselenggarakannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia bukanlah menjadi akhir dari perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajah. Meski sudah mengumandangkan diri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, banyak ujian yang harus dihadapi oleh negara Indonesia.
https://www.viva.co.id/
Sebab, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya saat sedang dalam keadaan vacuum of power atau kekosongan kekuasaan pasca Jepang mengaku kalah kepada sekutu. Karena adanya pengakuan kalah tersebut, pasukan sekutu akan mengambil alih wilayah yang menjadi bekas jajahan Jepang, termasuk Indonesia.
Inilah alasan mengapa kondisi keamanan serta pertahanan Indonesia belum benar-benar stabil pada masa-masa awal pasca kemerdekaan. Berbagai pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan pun terjadi di berbagai daerah. Dari berbagai perang yang terjadi, berikut 5 pertempuran kemerdekaan yang paling dikenang dalam sejarah.
Pertempuran Surabaya (10 November 1945)
Pertempuran Surabaya adalah salah satu pertempuran terbesar dan paling terkenal dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 10 November 1945, terjadi pertempuran sengit antara pasukan Inggris dan Belanda melawan para pejuang kemerdekaan Indonesia di Surabaya. Pertempuran ini dikenal sebagai Hari Pahlawan dan menandai komitmen kuat rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan.
Pertempuran Medan Area (1945-1947)
Pertempuran Medan Area adalah serangkaian konflik yang berlangsung di Sumatera Utara antara pasukan Indonesia dan Belanda. Pertempuran ini merupakan bagian dari upaya Belanda untuk menguasai Medan dan sekitarnya setelah proklamasi kemerdekaan. Pertempuran ini menunjukkan perjuangan gigih rakyat Sumatera Utara dalam melawan kolonialisme.
Pertempuran Pasuruan (1947)
Pertempuran Pasuruan di Jawa Timur terjadi saat Belanda melakukan agresi untuk menguasai wilayah tersebut. Pertempuran ini menandai perjuangan keras rakyat Pasuruan dalam menghadapi upaya kolonialis.
Pertempuran Malang (1947)
Pertempuran Malang berlangsung di Malang, Jawa Timur, antara pasukan Indonesia dan Belanda. Pertempuran ini merupakan bagian dari Agresi Militer Belanda II. Pertempuran ini menyoroti upaya Belanda untuk memperluas pengaruhnya di Jawa Timur dan perlawanan keras dari pasukan Indonesia.
Rekomendasi Buku & Artikel Terkait
Indogamers.com - Bagi pecinta game perang, game android bertema kapal perang memang seru banget buat dmainkan.
Dalam game android bertema kapal perang ini, pemain akan dihadapkan pada pertempuran di lautan dengan kapal perang berteknologi canggih.
Berikut adalah 3 rekomendasi game android bertema kapal perang yang menawarkan sensasi unik dengan mekanik pertempuran yang seru.
Baca Juga: Lirik Lagu Game Never Over, Theme Song Resmi M6 MLBB 2024
Pertempuran Tanjung Priok (1946)
Pertempuran Tanjung Priok terjadi di pelabuhan utama Jakarta, Tanjung Priok, antara pasukan Indonesia dan pasukan Belanda yang ingin merebut kendali atas pelabuhan penting ini. Pertempuran ini sangat signifikan karena Tanjung Priok adalah pusat logistik penting untuk pasukan dan ekonomi Indonesia.
Pertempuran Ambarawa (12-15 Desember 1945)
Pertempuran Ambarawa berlangsung di sekitar kota Ambarawa, Jawa Tengah. Dalam pertempuran ini, pasukan TNI yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman melawan pasukan Sekutu dan Belanda. Kemenangan Indonesia dalam pertempuran ini penting untuk memperkuat posisi perjuangan kemerdekaan di Jawa Tengah.
Bandung Lautan Api
https://www.liputan6.com/
Peristiwa Bandung Lautan Api merupakan peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat pada tanggal 23 Maret 1946. Dalam waktu kurang lebih tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar tempat tinggal mereka dan meninggalkan kota untuk menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan guna untuk mencegah tentara Sekutu beserta dengan tentara NICA Belanda untuk menjadikan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam upaya perang untuk merusak kemerdekaan Indonesia.
Pasukan Inggris yang dipimpin oleh Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Pada mulanya, hubungan mereka dengan pemerintah Republik Indonesia sudah tidak baik. Mereka menuntut supaya semua senjata api yang ada di tangan masyarakat, kecuali bagi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), diserahkan kepada sekutu. Disamping itu, Para orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan berbagai tindakan yang mengganggu keamanan sekitar. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara tentara Inggris dengan TKR tak bisa terhindarkan.
Pada malam hari, tanggal 21 November 1945, TKR dibantu dengan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap tempat yang dijadikan markas oleh tentara Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Preanger dan Hotel Homann. Tiga hari kemudian, pemimpin pasukan Inggris, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat untuk mengosongkan Bandung Utara dari para penduduk Indonesia termasuk juga para pasukan bersenjata.
Ultimatum dari Tentara Sekutu supaya Tentara Republik Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI pada saat itu) meninggalkan Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi “bumi hangus”. Para pejuang pihak Republik Indonesia merasa tak rela apabila Bandung digunakan oleh pihak Sekutu dan NICA untuk dijadikan sebagai markas. Keputusan untuk membumi-hanguskan Bandung diputuskan melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan seluruh kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 23 Maret 1946.
Kolonel Abdoel Haris Nasoetion yang pada masa itu menjabat sebagai Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan untuk segera melakukan evakuasi ke luar Kota Bandung. Pada hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang untuk meninggalkan kota Bandung dan pada malam itu juga pembakaran kota berlangsung.
Kota Bandung dengan sengaja dibakar oleh TRI dan masyarakat setempat dengan maksud supaya Sekutu tidak bisa menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Tentara Inggris murka dan mulai menyerang sehingga terjadi sebuah pertempuran sengit. Pertempuran terbesar terjadi di Desa Dayeuhkolot, yakni daerah sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar yang dimiliki oleh Tentara Sekutu.
Dalam pertempuran ini dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) yakni Muhammad Toha dan Muhammad Ramdan terjun ke dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang dengan menggunakan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi yang berada di dalamnya.
Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya berencana untuk tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan, maka pada pukul 21.00 WIB, mereka turut ikut dalam rombongan yang melakukan evakuasi dari kota Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih sekitar pukul 00.00 WIB, Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan juga TRI. Meski demikian, api masih membubung tinggi membakar kota, sehingga Bandung pun seakan menjadi lautan api.
Pembakaran total kota Bandung tersebut dianggap sebagai strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia karena pada masa itu, kekuatan TRI bersama dengan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan dari pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Pasca peristiwa tersebut, TRI bersama dengan milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya di luar Bandung.
https://www.minews.id/
Salah satu pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan yang paling dikenang ialah perang Puputan Margarana di Bali pada tanggal 20 November 1946. Pertempuran ini dipimpin oleh Kolonel I Gusti Ngurah Rai.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan, I Gusti Ngurah Rai menerima tugas membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di daerahnya untuk menghadang agresi dari pihak Belanda yang ingin kembali untuk menguasai Bali. Ia pun membentuk pasukan yang dinamakan sebagai pasukan Ciung Wanara.
Pada perjanjian Linggarjati 10 November 1946, pihak Belanda hanya mengakui Sumatera, Jawa, dan Madura sebagai wilayah dari Republik Indonesia. Sedangkan Belanda ingin menjadikan Bali masuk ke dalam wilayah Negara Indonesia Timur (NIT). I Gusti Ngurah Rai pun dibujuk oleh para pasukan Belanda untuk bergabung. Akan tetapi, rasa cintanya kepada Republik Indonesia membuatnya enggan.
I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukan Ciung Wanara untuk merampas seluruh persenjataan yang dimilki oleh polisi NICA yang sedang menduduki Kota Tabanan. Sikap dari Ngurah Rai membuat pihak Belanda geram dan ingin membalas dendam.
Saat pasukan Ciung Wanara beserta dengan sang pemimpin sedang melakukan long march ke Gunung Agung, mereka diserang oleh pasukan Belanda. Dalam kondisi terdesak, Ngurah Rai mengeluarkan perintah Puputan atau pertempuran habis-habisan yang mengeluarkan seluruh tenaga. Dalam pandangan para pejuang Bali, lebih baik berjuang sebagai ksatria daripada menyerah dan jatuh ke tangan musuh.
Sengitnya perlawanan tersebut, membuat militer Belanda mengerahkan pesawat tempur yang diterbangkan dari Makassar. Pasukan Ciung Wanara dijatuhi bom dan juga rentetan tembakan. Namun, Pasukan Ngurah Rai tak mundur.dan menjadikan I Gusti Ngurah Rai gugur bersama dengan 95 orang pasukannya. Sedangkan sekitar 400 orang dari pihak Belanda tewas.